Friday, August 5, 2011

Manusia...Miskin Kaya


Masalah si miskin dan si kaya pernah menjadi
 perdebatan sengit di kalangan para sufi.Siapa yang
 lebih baik di antara keduanya? Si miskin yang sabar
 atau si kaya yang pandai bersyukur dan murah hati?
 Sebagian sufi, seperti Harits al-Muhasibi dan Imam al-Ghazali,
 memberikan keutamaan (afdhaliyah) kepada si miskin.
 Sedang sufi lain memberikan keutamaan justru kepada
si kaya dengan merujuk kepada sehabat-sahabat Nabi saw,
 yang hartawan, tapi dermawan, semacam Utsman Ibn ‘Affan
 dan Abdul Rahman Ibn ‘Auf. Sementara Ibn Taimiyah,
pembaharu pramodern yang sangat kritis terhadap tasawuf,
 mengemukakan pemikiran baru dalam masalah ini.
 Dalam buku bertajuk Al-Shufiyah wal-Fuqara, Ibn Taimiyah
 memberikan keutamaan bukan kepada si kaya atau si miskin,
 melainkan kepada orang yang lebih bertakwa di antara keduanya
. (Kitab Al-Shufiyah wal-Fuqara’, Hlh. 25-26).
Menurut Ibn Taimiyah, bila kebaikan si miskin lebih banyak,
 maka ia lebih utama. Sebaliknya, bila kebaikan si kaya lebih
 banyak, maka si kaya lebih baik. Jika kebaikan mereka sama,
 maka kemuliaan mereka sederajat dan setingkat.
Hanya, dalam kasus ini, tutur Ibn Taimiyah, si miskin lebih dahulu
 melangkah ke sorga daripada si kaya. Karena langkah
 si kaya tertahan sejenak di depan pintu sorga lantaran harus
 menyelesaikan perhitungan (hisab) mengenai harta
 dan kekayaan yang dimiliki.
Miskin dan kaya, seperti dikemukakan Ibn Taimiyah di atas,
 tidak menjadi dasar keutamaan seorang. Dasar mengenai itu,
 tetap iman dan takwa. Di sini, miskin dan kaya hanya dapat
 diidentifikasi sebagai alat uji semata. Sebagai alat uji,
diyakini dapat memberi pengaruh terhadap perilaku manusia,
baik maupun buruk. Pengaruh ini, tentu sangat bergantung
kepada kesiapan mental penerima ujian. Untuk itu, ada manusia
yang tidak siap dengan kemiskinan, sehingga kemiskinan,
seperti kata Nabi saw, dapat mendekatkan manusia
kepada kekufuran. (HR Baihaqi).
Sebaliknya, banyak pula manusia yang tidak siap dengan kekayaan,
 sehingga kekayaan membuat dirinya menjadi pelit dan sombong.
 Inilah makna firman Allah, ”Ketahuilah! Sesungguhnya manusia
benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.”
 (Al-’Alaq: 6-7).
Sebagai alat uji, kefakiran dan kekayaan itu tidak kekal,
tapi bersifat dinamis, artinya berubah dan berputar.
 Nabi Muhammad sendiri, pada mulanya tergolong miskin,
 tapi kemudian Allah swt membuat dirinya kaya (Al-Dhuha: 9).
 Maksud kaya di sini, menurut sebagian besar ahli tafsir, adalah
 kaya harta. Hal ini, karena perkataan ‘dibuat kaya’
 (Aghna) dalam ayat ini disandingkan dengan perkataan miskin (‘Aailan).
Namun, menurut Abdullah Yusuf Ali, kaya di situ
 lebih menunjuk pada kekayaan rohani dan spiritual.
 Dengan kekayaan ini, lanjut Yusuf Ali, Nabi saw
 bukan saja dapat mengatasi kebutuhan-kebutuhannya
 yang bersifat duniawi, tetapi juga mampu memusatkan
 semua perhatian dan seluruh waktunya untuk bekerja
 dan beribadah kepada Allah swt. Wallahu a’lam! - ahi








No comments:

Post a Comment